Rabu, 26 Mei 2010

tugas organisasi dan metode #7

DINAMIKA KONFLIK

Menganalisis peristiwa politik akhir-akhir ini, perlu ada pemahaman
yang lebih dalam. Alasannya, agar tidak terjadi kesimpangsiuran arti,
yang buntutnya hanya menimbulkan adanya pengklaiman sepihak. Di
samping itu, tidak kalah menariknya, pelbagai peristiwa itu semakin
hari semakin mengemuka. Lihat saja kasus Situbondo yang sebelumnya
didahului oleh peristiwa Sabtu Kelabu (27 Juli). Juga berbagai kasus
lain yang tidak terungkap secara jelas, yang menyangkut infrastruktur
dan suprastruktur.

Namun demikian, semua persoalan itu bermuara pada dua persoalan
problematis, yakni dinamika konflik dan konsensus. Inilah yang
sebenarnya perlu dipahami secara lebih mendalam. Alasannya, kedua
persoalan ini dalam perkembangannya, sering dipahami secara terpisah
satu sama lain - konflik semata, atau konsensus saja. Sehingga sering
tumpang tindih, bahkan saling diklaim sebagai satu persoalan yang
paling besar.

Yang setuju konflik, akan mengatakan kehidupan masyarakat tidak
terlepas dari konflik. Maka konflik dianggap sebagai kewajaran; bahkan
sebagai simbol dinamika. Sedangkan yang setuju konsensus, selalu
mengatakan bagaimana pun bentuknya konsensus tetap diperlukan. Sebab,
tanpa konsensus kehidupan masyarakat hanya akan mengarah pada chaos.

Buntutnya, apa yang sedang diperjuangkan akan mengalami pelbagai
hambatan, karena kurangnya konsensus dan membiarkan konflik semakin
tajam. Konflik dipahami sebagai persoalan yang hanya membuka peluang
pihak-pihak tertentu untuk melakukan tindakan di luar "bangunan"
sistem sosial.

Konflik sering dipakai bagi mereka yang sedang gandrung-gandrungnya
menginginkan perubahan, misalnya masyarakat umum. Konsensus biasanya
dipakai bagi mereka yang terlibat dalam struktur negara, atau struktur
kekuatan sosial politik masyarakat, misalnya Pemerintah.

Dalam perkembangannya, Pemerintah sering (hanya) menginginkan
konsensus dan memandang "sinis" konflik. Sedang masyarakat sendiri
(entah karena sudah apatis atau apa pun alasannya) biasanya lebih
senang memakai bahasa konflik daripada konsensus. Konsensus
diibaratkan simbol status quo.

Maka jangan heran pula manakala kejadian yang sering menimpa
masyarakat dewasa ini semakin menajam dan mengkristal, misalnya
kejadian di Situbondo (10 Oktober) atau yang masih hangat seperti
peristiwa 27 Juli.

***

Konflik dan konsensus memang sering dipahami secara berseberangan.
Padahal, kenyataannya kedua masalah tersebut berdiri sejajar dan
(seharusnya) saling melengkapi serta membantu dalam menciptakan
pembaruan masyarakat; ibarat simbiosis mutualisme.

Konsensus sangat dibutuhkan untuk mengatasi dinamika masyarakat yang
sering kelewat batas. Kalau kita pada era awal Orde Baru (Orba) tanpa
menggunakan konsensus bersama, sulit bagi kita untuk melaksanakan
pembangunan. Dengan konsensus kita bersepakat; yang terbaiklah yang
dilaksanakan. Jadi konsensus ini pun harus mewadahi dua pihak yang
berseberangan, dan bukannya mengalahkan satu pihak (bahkan secara
paksa) dan memenangkan pihak lain (karena berkuasa).

Jelas dalam posisi itu kita membutuhkan konsensus untuk menghindari
hal-hal yang tidak diinginkan terjadi. Dengan catatan, dicapainya
melalui jalan yang sehat dan pemikiran yang cerdas dengan
dilibatkannya dua pihak yang sering berbeda perspektif itu.

Lain persoalannya dengan konflik. Konflik, tetapi dibutuhkan untuk
dinamika masyarakat. Jika dalam masyarakat itu tidak ada konflik,
berarti di dalam masyarakat itu tidak ada pembaruan. Sebab, esensi
pembaruan tentunya pernah terjadi silang pendapat yang, kalau tidak
diatasi, menjurus pada konflik.

Jadi konflik tetap dibutuhkan kalau masyarakat, bahkan bangsa itu,
membutuhkan perubahan. Lain persoalannya kalau tidak lagi membutuhkan
perubahan.

Namun begitu, konflik juga bisa jadi (kalau kelewat batas) akan
mengancam keberadaan sistem yang sudah berkembang selama ini, yang
diyakini sebagai alat untuk mengatur tata pergaulan masyarakat.
Konflik yang terus-terusan, tanpa ada konsensus, dapat mengancam
keutuhan masyarakat. Buntutnya akan mengancam pembangunan yang sedang
dilaksanakan.

Oleh karena itu, konflik-konflik harus "diciptakan" (harus terjadi)
dalam batas-batas yang tidak menghancurkan sistem sosial atau bahkan
sistem politik.

Kalau masyarakat hanya menginginkan konflik semata tanpa konsensus,
berarti mengantarkan masyarakat itu sendiri pada keadaan yang tidak
menentu. Namun, adanya konsensus semata juga menandakan adanya
pengebirian sepihak, kalau tidak mau dikatakan membodohi masyarakat.
Artinya, menganggap bahwa masyarakat itu masih sama seperti beberapa
puluh tahun lalu.

Maka konflik dan konsensus harus dikembangkan bersama-sama. Hal ini
bisa dilakukan kalau masing-masing pihak yang mengklaim diri pembela
konflik atau konsensus tidak merasa benar sendiri. Kebenaran absolut
hanya ada pada Tuhan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar